Konservasi Informasi Genetika
Untuk mempertahankan hidupnya organisme berkembang-biak dengan cara kawin ataupun dengan cara tidak kawin. Kawin merupakan cara pembiakan utama pada organisme tingkat tinggi. Pada organisme tingkat rendah, cara tidak kawin merupakan strategi utamanya. Nampaknya, arah perubahan evolutif bergerak dari strategi tidak kawin menjadi strategi kawin [mengapa?]. Baik cara kawin atau tidak kawin, prinsipnya adalah menghasilkan turunan berikutnya yang sama atau sedikit sama. Jadi, setiap organisme yang berbiak harus memiliki sifat dan kemampuan meng-kopy dirinya sendiri menjadi copy lainnya yang serupa.
Sel adalah unit dasar hidup. Semua organisme hidup tersusun dari unit sel tunggal atau sel banyak. Untuk mempertahankan hidupnya, sel memperbanyak dirinya dari satu generasi ke generasi lain dengan cara meng-copy dirinya dari satu menjadi dua, dari dua menjadi empat, dan seterusnya. Bukan saja soal jumlah sel yang berlipat-ganda, volume sel pun meningkat linier searah dengan peningkatan jumlah sel.
Karena komposisi dan jumlah zat-zat penyusun sel tunggal dari satu generasi ke generasi selanjutnya relatif tetap, maka terjadi peningkatan biomasa secara linier sesuai dengan jumlah sel. Artinya bahwa seiring dengan peningkatan jumlah sel, berlangsung biosintesis senyawa-senyawa penyusun tubuh sel terutama karbohidrat, protein, asam-asam nukleat dan lemak. Mereka adalah bahan baku penyusun tubuh sel seperti dinding sel, membrane, cairan sel, dan organela; atau menjadi mesin-mesin fungsional bekerjanya aspek-aspek fisiologis sel seperti enzim, penghantaran dan alih-ragam signal (signal transduction), sistem kekebalan tubuh, atau cadangan energi kimia.
Keempat golongan senyawa penyusun utama tubuh sel itu disintesis dari senyawa-senyawa antara seperti asam amino, nukleotida, gula dan asam lemak. Senyawa-senyawa antara ini disintesis dari unsur-unsur yang jauh lebih sederhana lagi seperti glukosa, amonia, dan garam-garam anorganik. Dalam hal ini, glukosa disintesis langsung oleh organisme berklorofil, melalui proses fotokimia dan biokimia fiksasi CO2 dan konversi energi radiasi matahari ke dalam ikatan-ikatan kimia karbon glukosa. Organisme yang tidak berklorofil bergantung penyediaan energi dan senyawa karbon dari organisme berklorofil.
Pertanyaannya ialah, “apa kiranya yang menyebabkan sel dan organisme mampu memperbanyak dirinya sendiri dan mewariskan semua informasi genetis yang terkandung kepada sel turunannya?” Teori kromosom tentang pewarisan informasi menerangkan bahwa selama proses mitosis satu sel membela menjadi dua sel. Namun sebelum pembelahan sel berlangsung, jumlah kromosomnya berlipat-ganda. Pada sel manusia dari 46 menjadi 92 sebelum kemudian dipilah menjadi masing-masing 46 untuk sel-sel turunannya. Dalam pembelahan meiosis, satu sel diploid menggandakan bahan genetiknya sekali namun diikuti oleh pembelahan sel dua kali. Sehingga, satu sel diploid menghasilkan empat sel haploid. Setiap sel memiliki jumlah kromosom separuh dari jumlah kromosom sel induknya.
Dengan membandingkan jumlah DNA pada sel-sel diploid dan sel-sel haploid diperoleh data bahwa jumlah DNA pada sel-sel diploid memiliki jumlah DNA dua kali-lipat. Seandainya satu sel diploid memiliki 9 pg (pico gram; 10-12 g) DNA maka sel haploid memiliki 4.5 pg DNA. Dalam hal ini, jumlah kelipatan DNA selaras dengan jumlah kelipatan kromosom. Dengan demikian, setiap sekali pembelahan sel mitosis jumlah DNA-nya pun bertambah dua dua kali.
Visualisasi replikasi DNA berselaras dengan replikasi kromosom selama proses pembelahan sel mitosis didemonstrasikan oleh Herber Taylor (1958). Ia memberi makan tanaman keluarga lili dengan thimin radioaktif, setelah sel-selnya membelah. Tanaman-tanaman tersebut kemudian dipindahkan ke dalam media tanpa radioisotop. Preparat kromosom yang berasal baik sebelum, selama dan setelah perlakuan isotop disiapkan dipermukaan slide kaca, dan disingkap kepermukaan film fotograf.
Hasilnya bahwa sebelum kromosom itu diperlakukan dengan isotop thimin, kromosomnya tidak menghasilkan "pengenal" dalam kromosom berupa warna "hitam hangus" di permukaan film. Kromosom yang langsung dipersiapkan dari perlakuan thimin menghasilkan "pengenal" pada kedua pasang kromosom dipermukaan film. Menariknya, kromosom yang dipersiapkan dari tanaman yang telah dipindahkan ke media tanpa thimin isotop yang sebelumnya diperlakukan dengan radioisotop, terdapat kromosom yang satu dari pasangannya tidak ditemui pengenal (kecuali di daerah pindah-silang). Eksperimen ini membuktikan bahwa Sintesis DNA berselaras dengan replikasi DNA dan bersifat linear terhadap struktur kromosom, dan terjadi sekali untuk setiap kali pembelahan sel.
Sifat memperbanyak diri secara vegetatif demikian tidak hanya dimiliki oleh bahan genetik dalam kromosom. DNA sirkuler yang disebut plasmid atau DNA batangan pada virus berkemampuan memperbanyak diri dengan cara mengkopi molekul DNA tunggal menjadi sepasang ikatan DNA ganda. Proses mengkopi diri sendiri dari polimer DNA menjadi jiplakan-jiplakan DNA identik disebut replikasi DNA.
Replikasi DNA
Selang beberapa saat setelah publikasi Crick dan Watson mengenai struktur rantai ganda DNA, mereka kemudian mengemukakan implikasi struktur rantai ganda ini kepada mekanisme cetak-kopi informasi. Baik penelitian E. Chargaff dan Herbert Taylor membuktikan bahwa DNA bereplikasi semikoservatif. Artinya bahwa dalam sintesis DNA, dengan bahan awal DNA yang mampu memperbanyak diri, replicon, seperti plasmids dan kromosom, setiap rantai tunggal DNA berfungsi sebagai cetakan bagi sintesis rantai DNA baru pasangannya.
Pertanyaannya ialah, “bagaimana mekanisme biosintesis DNA sesungguhnya terjadi di dalam sel?” Arthur Kornberg menjawab pertanyaan ini dengan mendekatinya melalui pendekatan ensimatik. Ia berpendapat: "replikasi rantai nukleotida pasti dikatalisis oleh suatu enzim". Atas dasar pandangan tersebut, ia berusaha mengisolasi enzim yang bertanggungjawab pada biosintesis DNA dan mempelajari mekanisme aksi ensimnya.
Ia membuat ekstrak protein dari bakteri E. coli dan menambahkannya ke dalam suatu campuran reaksi dengan sejumlah komponen berikut: deoksinukleosida trifosfat dimana atom P dan C-nya menggunakan 32P atau 14C dan deoksinukleosidanya mengandung keempat basa nitrogen A, T, G, C; Mg++, serta DNA sebagai cetakan. Dengan campuran ini dalam tabung reaksi, diharapkan akan terbentuk polinukleotida dengan berat molekul yang lebih tinggi.
Usahanya berhasil, dan bukti-bukti menunjukkan bahwa bahwa polimerisasi dimaksud menunjuk kepada biosintesis DNA. Ia mendemonstrasikan bahwa polimerisasi DNA hanya dapat berhasil jika keempat deoksinukleosida trifosfat dan cetakan ada dalam komponen reaksi. Selanjutnya, dengan adanya alat uji (bioassay) aktifitas enzim yang mensintesis DNA, memungkinkan diisolasinya enzim yang bertanggung-jawab pada reaksi tersebut. Kornberg menamai enzim tersebut DNA polimerase.
Reaksi kimia yang dipercepat oleh DNA polimerase adalah mensintesis polinukleotida sambil melepaskan satu molekul pirofosfat (P-P) untuk setiap penambahan satu nukleosida trifosfat ke dalam rantai baru. Bukti yang paling kuat mendukung bahwa reaksi in vitro dipercepat oleh DNA polimerase bukan sekedar polimerisasi acak nukleotida, tetapi terlibat dalam replikasi DNA, adalah bahwa DNA cetakan yang ditambahkan ke dalam campuran reaksi tidak hanya diperlukan agar polimerisasi berlangsung, tetapi juga sebenarnya menentukan ciri dari polinukleotida yang di bentuk.
Melalui analisis komposisi basa nukleotida yang terbentuk setelah reaksi enzimatis dari berbagai macam DNA cetakan, Arthur Kornberg berhasil menunjukan bahwa DNA yang disintesis mengikuti ciri komposisi basa cetakan DNA-nya. Penelitian lanjut membuktikan bahwa DNA cetakan mengarahkan tidak hanya komposisi keseluruhan basa yang terbentuk, tetapi frekuensi relatif dari basa-basa yang terbentuk.
Berdasarkan studi sintesis DNA secara in vitro, dapat dikatakan bahwa DNA bertindak langsung sebagai cetakan dalam proses kopolimerisasi teratur replika-replika yang terbentuk tanpa membutuhkan sintesis senyawa antara bukan DNA. Dalam perkembangan studi biokimia, kemudian dapat dirancang bangunan yang lebih detil replikasi DNA, serta berbagai enzim yang terlibat.
Mekanisme pembelahan sel
Pertanyaan lanjut ialah, bagaimana sesungguhnya sel menggandakan DNA nya sendiri dan kemudian mendistribusikannya secara meraka kepada sel turunannya secara sama? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, sel berhadapan dengan persoalan koordinasi antar bagian dan proses, yaitu bahwa karena replikasi DNA hanya berlangsung sekali untuk setiap sekali pembelahan sel, replikasi DNA harus terpadu dengan pembelahan sel. Replikasi DNA harus mendahului pembelahan sel agar sebelum pembelahan sel berlangsung, telah tersedia bahan genetik untuk diagihkan kepada masing-masing sel turunan.
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, maka replikasi DNA merupakan bagian keseluruhan dari pembelahan sel, dan merupakan proses awal bagi sel berkomitmen meneruskan proses pembelahan sel. Sekali pembelahan sel diawali ia tidak bisa kembali lagi ketahap semula, dan harus menyelesaikan proses sintesis DNA sebelum pembelahan sel berlangsung. Pembelahan sel tidak boleh terjadi jika replikasi DNA belum selesai. Di dalam kenyataannya, selesainya proses replikasi merupakan pemicu bagi terjadinya pembelahan sel. Jika aturan ini dilanggar, maka transmisi informasi akan mengalami kegalauan.
Pada prokarion, replikasi DNA berawal di suatu tempat yang amung yang disebut daerah “pengawalan” (origin). Sebaliknya pada eukarion, replikasi DNA dimulai di awal fase S, yaitu fase yang memiliki periode yang panjang dalam pembelahan sel, yang dalam periode tersebut sintesis DNA berlangsung, bahkan berlangsung di banyak titik-titik pengawalan di dalam genom.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar